Selasa, 23 Desember 2014

Kisah Keluarga Pencinta Syurga

Abu Qudamah, ahlul fiqh, lahir tahun 541 H. Beliau hidup di masa perang salib. Dikenal sebagai orang yang hatinya dipenuhi kecintaan akan jihad fi sabilillah. Tidak pernah dia mendengar akan jihad fi sabilillah, atau adanya perang antara kaum muslimin dengan orang kafir, kecuali dia selalu ikut serta berjuang di pihak kaum muslimin. 
Suatu ketika sedang ia duduk-duduk di Masjidil Haram, ada seseorang yang menghampirinya seraya berkata: “Hai Abu Qudamah, anda adalah orang yang gemar berjihad di jalan Allah, maka ceritakanlah peristiwa paling ajaib yang pernah kau alami dalam berjihad.”
“Baiklah, aku akan menceritakannya bagi kalian,” kata Abu Qudamah.
 
“Suatu ketika aku berangkat bersama beberapa sahabatku untuk memerangi kaum Salibis di beberapa pos kawalan dekat sempadan. Dalam perjalanan itu aku melalui kota Raqqah (sebuah kota di Iraq, dekat sungai Eufrat).
Di sana aku membeli seekor unta yang akan kugunakan untuk membawa persenjataanku. Di samping itu aku mengajak warga kota melalui masjid-masjid, untuk ikut serta dalam jihad dan berinfaq fi sabilillah.
Menjelang malamnya, ada orang yang mengetuk pintu. Tatkala kubukakan, ternyata ada seorang wanita yang menutupi wajahnya dengan pakaiannya.
“Apa yang anda inginkan?” tanyaku.
“Andakah yang bernama Abu Qudamah?” katanya balik bertanya.
“Benar,” jawabku.
“Andakah yang hari ini mengumpulkan dana untuk membantu jihad di perbatasan?” tanyanya kembali.
“Ya, benar,” jawabku.

Maka wanita itu menyerahkan secarik kertas dan sebuah bungkusan terikat, kemudian berpaling sambil menangis. Pada kertas itu tertulis, “Anda mengajak kami untuk ikut berjihad, namun aku tidak sanggup untuk itu. Maka ku potong dua pintal rambut kesayanganku agar anda jadikan sebagai tali kuda anda. Ku harap bila Allah melihatnya pada kuda anda dalam jihad, Dia mengampuni dosaku kerananya.”

“Demi Allah, aku kagum atas semangat dan kegigihannya untuk ikut berjihad, demikian pula dengan kerinduannya untuk mendapat ampunan Allah dan Syurga-Nya,” kata Abu Qudamah.

Keesokan harinya, aku bersama sahabatku berangkat meninggalkan Raqqah.
Tatkala kami tiba dimedan Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seseorang penunggang kuda yang memanggil-manggil, “Hai Abu Qudamah.. Hai Abu Qudamah.. tunggulah sebentar, semoga Allah merahmatimu,” laung orang itu.
“Kalian berangkat dahulu, biar aku yang mencari siapa orang ini,” perintahku kepada para sahabatku.
Ketika aku hendak menyapanya, orang itu mendahuluiku dan mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang mengizinkanku untuk ikut bersamamu, dan tidak menolak penyertaanku.”
“Apa yang kau inginkan?” tanyaku.
“Aku ingin ikut bersamamu memerangi orang-orang kafir,” jawabnya.
“Perlihatkan wajahmu, aku ingin lihat, kalau engkau memang cukup dewasa dan wajib berjihad, akan aku terima. Namun jika masih kecil dan tidak wajib berjihad, terpaksa kutolak.” kataku.
Ketika ia menyingkap wajahnya, tampaklah olehku wajah yang putih bersinar bak bulan purnama. Ternyata ia masih muda belia, dan umurnya baru 17 tahun.
“Wahai anakku, apakah kamu memiliki ayah?” tanyaku.
“Ayah terbunuh di tangan kaum Salibis dan aku ingin ikut bersamamu untuk memerangi orang-orang yang membunuh ayahku,” jawabnya.
Bagaimana dengan ibumu, masih hidupkah dia?” tanyaku lagi.
“Ya,” jawabnya.
“Kembalilah ke ibumu dan jagalah ia baik-baik, kerana syurga ada di bawah telapak kakinya,” pintaku kepadanya.
“Kau tidak kenal ibuku?” tanyanya
“Tidak,” jawabku.
“Ibuku ialah pemilik amanah itu,” katanya.
“Amanah yang mana,” tanyaku
“Dialah yang mengamanahkan tali kuda itu,” jawabnya.
“Tali kuda yang mana?” tanyaku kehairanan.
“Subhanallah..!! Alangkah pelupanya anda ini, tidak ingatkah anda dengan wanita yang datang malam tadi menyerahkan seutas tali kuda dan bingkisan?”
“Ya , aku ingat,” jawabku.
“Dialah ibuku! Dia menyuruhku untuk berjihad bersamamu dan mengambil sumpah dariku supaya aku tidak kembali lagi,” katanya.

“Ibuku berkata, “Wahai anakku, jika kamu telah berhadapan dengan musuh, maka janganlah kamu melarikan diri. Persembahkanlah jiwamu untuk Allah.Mintalah kedudukan di sisi-Nya, dan mintalah agar  engkau ditempatkan bersama ayah dan bapa saudaramu di Jannah. Jika Allah mengurniaimu mati syahid, maka mintalah syafa’at bagiku.”

Kemudian ibu memelukku, lalu mendongakkan kepalanya ke langit seraya berkata, “Ya Allah.. Ya Ilahi.. inilah puteraku, buah hati dan belahan jiwaku, kupersembahkan dia untukmu, maka dekatkanlah dia dengan ayahnya.”

“Aku benar-benar takjub dengan anak ini,” kata Abu Qudamah, lalu anak itupun segera merayu, “Kerananya, kumohon atas nama Allah, janganlah engkau halangi aku untuk berjihad bersamamu. InsyaaAllah akulah asy-syahid putra asy-syahid. Aku telah hafal al-Qur’an. Aku juga pandai menunggang kuda dan memanah. Maka janganlah meremehkanku hanya karena usiaku yang masih muda,” kata anak itu memelas.

Setelah mendengar permintaannya aku tidak upaya melarangnya, maka kusertakanlah ia bersamaku.
Demi Allah, ternyata tidak pernah kulihat orang yang lebih cekap darinya. Ketika pasukan bergerak, dialah yang tercepat ketika kami singgah untuk beristirahat, dialah yang paling sibuk menguruskan kami, sedang lidahnya tidak pernah berhenti dari dzikrullah sama sekali.

Kemudian kami pun singgah di suatu tempat dekat pos sempadan. Semasa itu matahari hampir tenggelam dan kami dalam keadaan berpuasa. Maka ketika kami hendak menyiapkan hidangan untuk berbuka dan makan malam, pemuda itu bersumpah atas nama Allah bahawa ialah yang akan menyiapkannya.
Tentu saja kami melarangnya kerana ia baru saja keletihan kerana perjalanan yanh jauh tadi.
Akan tetapi pemuda itu berkeras untuk menyiapkan hidangan bagi kami. Maka ketika kami beristirahat di suatu tempat, kami katakan kepadanya, “Jauhkan sedikit agar asap kayu apimu tidak mengganggu kami.”

Maka pemuda itu pun mengambil tempat yang agak jauh dari kami untuk memasak. Akan tetapi ia itu tidak kunjung tiba. Mereka merasa bahawa ia agak terlambat menyiapkan hidangan mereka.

“Hai Abu Qudamah, tengoklah pemuda itu. Ia telah terlalu lama memasak.
Apa dah jadi dengannya?” pinta seseorang kepadaku. Lalu aku bergegas menemuinya, maka kudapati pemuda itu telah menyalakan api unggun dan memasak sesuatu di atasnya. Tetapi kerana terlalu letih, iapun tertidur sambil menyandarkan kepalanya pada sebuah batu.
Melihat keadaanya yang seperti itu, sungguh demi Allah aku tidak sampai hati mengganggu tidurnya, namun aku juga tidak mungkin kembali kepada sahabat-sahabatku dengan tangan hampa, kerana sampai sekarang kami belum memakan apa-apa.

Akhirnya kuputuskan untuk menyiapkan makanan itu sendiri. Akupun mula menyediakan masakan, sambil memasak, sesekali aku memandang pemuda itu. Suatu ketika terlihat olehku bahawa anak muda itu tersenyum. Lalu perlahan-lahan senyumnya makin melebar dan mulailah ia tertawa kegirangan.
Aku merasa takjub melihat tingkah lakunya itu, kemudian ia tersentak dari mimpinya dan terbangun.

Ketika melihatku menyiapkan masakan sendirian, ia nampak gugup dan terburu-buru mengatakan, “Paman, maafkan aku, nampaknya aku terlambat menyiapkan makanan bagi kalian.”
“Ah tidak, sebenarnya kamu tidak terlambat ,” jawabku.
“Sudah, tinggalkan saja masakan ini, biar aku yang menyiapkannya, aku adalah pelayan kalian selama jihad,” kata pemuda itu.
“Tidak,” sahutku, “Demi Allah, engkau tidak kuizinkan menyiapkan apa-apa bagi kami sampai engkau menceritakan kepadaku apa yang membuatmu tertawa sewaktu tidur tadi? Keadaanmu sungguh menghairankan,” ujarku.
“Paman, itu cuma mimpi yang kulihat sewaktu tidur,” kata pemuda itu.
“Mimpi apa yang engkau lihat?” tanyaku.
“Sudahlah, tidak usah bertanya tentangnya. Ini masalah pribadi antara aku dengan Allah,” sahut pemuda itu.
“Tidak boleh “Mimpi apa yang engkau lihat?” tanyaku.
“Sudahlah, tidak usah bertanya tentangnya. Ini masalah pribadi antara aku dengan Allah,” sahut pemuda itu.
“Tidak boleh, kumohon atas nama Allah agar kamu menceritakannya,” kataku.
“Pamank, dalam mimpi tadi aku melihat seakan aku berada di Jannah, kudapati Jannah itu dalam segala keindahan dan keanggunannya, sebagaimana yang Allah ceritakan dalam al-Qur’an.

Ketika aku berjalan-jalan di dalamnya dengan rasa kagum, tiba-tiba terlihat olehku sebuah istana megah yang berkilauan, dindingnya dari emas dan perak, tiangnya dari mutiara dan batu permata, dan gerbangnya dari emas.
Di tiang itu ada kerai-kerai yang terjuntai, lalu perlahan kerai itu tersingkap dan nampaklah gadis-gadis remaja yang cantik jelita, wajah mereka bersinar bak rembulan.”
Kutatap wajah-wajah cantik itu dengan penuh kekaguman, sungguh, kecantikan yang luar biasa, kelu lidahku, lalu muncullah seorang gadis lain yang lebih cantik dari mereka, dengan telunjuknya ia memberi isyarat kepada gadis yang ada di sampingnya seraya mengatakan, “Inilah (calon) suami al-Mardhiyyah.. ya, dialah calon suaminya.. benar, dialah orangnya!”

Aku tidak faham siapa itu al-Mardhiyyah, maka aku bertanya kepadanya, “Kamukah al-Mardhiyyah..?”
“Aku hanyalah satu di antara dayang-dayang al-Mardhiyyah..” katanya.
“Anda ingin bertemu dengan al-Mardhiyyah..?” tanya gadis itu.
“Kemarilah.. masuklah ke sini, semoga Allah merahmatimu,” serunya.

Tiba-tiba kulihat diatasnya ada sebuah bilik dari emas merah.. dalam bilik itu ada tilam yang bertahtakan permata hijau dan kaki-kakinya terbuat dari perak putih yang berkilauan.
Dan di atasnya.. seorang gadis remaja dengan wajah bersinar laksana surya!! Kalaulah Allah tidak memantapkan hati dan penglihatanku, niscaya butalah mataku dan hilanglah akalku kerana tidak kuasa menatap kecantikannya..!!!
 
Tatkala ia menatapku, ia menyambutku seraya berkata, “Selamat datang, hai Wali Allah dan Kekasih-Nya. Aku diciptakan untukmu, dan engkau adalah milikku.”
Mendengar suara merdu itu, aku berusaha mendekatinya dan menyentuhnya.. namun sebelum tanganku sampai kepadanya, ia berkata, “Wahai kekasihku dan tambatan hatiku.. semoga Allah menjauhkanmu dari segala kekejian.. urusanmu di dunia masih tersisa sedikit.. InsyaAllah besok kita akan bertemu selepas Asar.” Aku pun tersenyum dan senang mendengarnya.”

Abu Qudamah melanjutkan, “Selesai mendengar cerita si pemuda yang indah tadi, aku berkata kepadanya, “InsyaaAllah mimpimu merupakan pertanda baik.”

Lalu kami pun makan hidangan tadi bersama-sama, kemudian meneruskan perjalanan kami menuju pos perbatasan.

Setibanya di pos perbatasan kami menurunkan semua muatan dan bermalam di sana. Keesokan harinya setelah menunaikan sholat fajar, kita bergerak ke medan pertempuran untuk menghadapi musuh.
Panglima bangun untuk mengatur barisan. Ia membaca permulaan Surat al-Anfaal. Ia mengingatkan kami akan besarnya pahala jihad fi sabilillah dan mati syahid, sambil terus mengobarkan semangat jihad kaum muslimin.
Abu Qudamah menceritakan, “Tatkala kuperhatikan orang-orang di sekitarku, kudapati masing-masing dari mereka mengumpulkan anak buahnya di kelilingnya. Adapun si pemuda, ia tidak punya ayah yang memanggilnya, atau bapa saudara yang mengajaknya, dan tidak pula saudara yang mendampinginya.

Akupun terus mengikuti dan memperhatikan gerak-geriknya, lalu terlihatlah olehku bahawa ia berada di barisan terdepan. Maka segeralah ku kejar dia, ku sibak barisan demi barisan hingga sampai kepadanya, kemudian aku berkata, “Wahai anakku, apakah engkau ada pengalaman berperang..?”

“Tidak.. tidak pernah. Ini justru pertempuranku yang pertama kali melawan orang kafir,” jawab pemuda itu.
“Wahai anakku, sesungguhnya perkara ini tidak semudah yang engkau bayangkan, ini adalah peperangan. Satu pertumpahan darah di tengah gemerincingnya pedang, ringkikan kuda, dan hujan panah.
Wahai anakku, sebaiknya engkau ambil tempat di belakang saja. Jika kita menang engkaupun ikut menang, namun jika kita kalah engkau tidak menjadi korban pertama,” pintaku kepadanya.
Lalu dengan tatapan penuh kehairanan ia berkata,” Paman, engkau berkata seperti itu kepadaku..!?”
“Ya, aku mengatakan seperti itu kepadamu,” jawabku.
“Paman.. apa engkau menginginkanku jadi penghuni neraka..?” tanyanya.
“A’uudzubillaah!! Sungguh, bukan begitu.. kita semua tidak berada di medan jihad seperti ini kecuali kerana lari dari neraka dan memburu syurga,” jawabku.

Lalu kata si pemuda, “Sesungguhnya Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka(mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (strategi) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya itu.”(QS. Al-Anfaal: 15-16)

“Adakah Paman menginginkan aku berpaling membelakangi mereka sehingga tempat kembaliku adalah neraka?” tanyanya.
Akupun hairan dengan kegigihannya dan sikapnya yang memegang teguh ayat tersebut. Kemudian aku berusaha menjelaskan, “Wahai anakku, ayat itu maksudnya bukan seperti yang engkau katakan.” Namun tetap saja ia berkeras tidak mau berpindah ke belakang.

Akupun menarik tangannya secara paksa, membawa ke akhir barisan. Namun ia justru menarik lengannya kembali seakan ingin melepaskan diri dari genggamanku. Lalu perangpun dimulai dan aku terhalang oleh pasukan berkuda darinya.

Dalam kancah pertempuran itu terdengarlah derap kaki kuda, diiringi gemerincing pedang dan hujan panah, lalu mulalah kepala-kepala berjatuhan satu-persatu. Bau hanyir darah tercium di mana-mana. Tangan dan kaki bergelimpangan. Dan tubuh-tubuh tidak bernyawa terbujur bermandi darah.

Demi Allah, perang itu telah menyibukkan setiap orang akan dirinya sendiri dan melupakan orang lain. Sebatan dan kilatan pedang di atas kepala yang tidak henti-hentinya, menjadikan suhu memuncak, seakan-akan ada tungku api yang menyala di atas kami.

Perangpun makin memuncak, kedua pasukan bertempur habis-habisan sampai matahari tergelincir dan masuk waktu zhuhur. Ketika itulah Allah berkenan menganugerahkan kemenangan bagi kaum muslimin, dan pasukan Salib lari tunggang-langgang.
Setelah mereka kalah dan berundur, aku berkumpul bersama beberapa orang sahabatku untuk menunaikan sholat zhuhur. Selepas sholat, mulailah masing-masing dari kami mencari sanak keluarganya di antara para korban perang.

Sedangkan si pemuda itu.. tidak ada seorangpun yang mencarinya atau menanyakan khabarnya. Maka kukatakan dalam hati, “Aku harus mencarinya dan mengetahui keadaannya, barangkali ia terbunuh, terluka atau jatuh dalam tawanan musuh?”

Akupun mulai mencarinya di tengah para korban, aku menoleh ke kanan dan kiri kalau-kalau ia terlihat olehku. Di masa itulah aku mendengar ada suara yang lemah di belakangku yang mengatakan, “Saudara-saudara.. tolong panggilkan paman ku Abu Qudamah kemari.. panggilkan Abu Qudamah kemari.”
Aku menoleh kearah suara tadi, ternyata tubuh itu ialah tubuh si pemuda dan ternyata puluhan tombak telah menusuk tubuhnya. Ia terpijak oleh pasukan berkuda. Dari mulutnya keluar darah segar. Badannya terkoyak-koyak (luka) dan tulangnya patah teruk.

Ia terlantar seorang diri di tengah padang pasir. Maka aku segera bersimpuh di hadapannya dan berteriak sekuat tenagaku, “Akulah Abu Qudamah..!! Aku ada di sampingmu..!!”

“Segala puji bagi Allah yang masih menghidupkanku hingga aku dapat berwasiat kepadamu.. maka dengarlah baik-baik wasiatku ini..” kata pemuda itu.

Abu Qudamah mengatakan, sungguh demi Allah, tidak kuasa menahan tangisku. Aku teringat akan segala kebaikannya, sekaligus sedih akan ibunya yang tinggal di Raqqah. Tahun lalu ia dikejutkan dengan kematian suami dan saudara-saudaranya, lalu sekarang dikejutkan dengan kematian anaknya.
Aku menyingsingkan sebahagian kainku lalu mengusap darah yang menutupi wajah pucatnya itu. Ketika ia merasakan sentuhanku ia berkata, “Paman.. usaplah darahku dengan pakaianku, dan jangan engkau usap dengan pakaianmu.”
Demi Allah, aku tidak kuasa menahan tangisku dan tidak tahu harus berkata apa. Sesaat kemudian, anak muda itu berkata dengan suara yang lemah, “Paman.. berjanjilah bahawa sepeninggalku nanti engkau akan kembali ke Raqqah, dan memberi khabar gembira bagi ibuku bahawa Allah telah menerima hadiahnya, dan bahawa anaknya telah gugur di jalan Allah dalam keadaan maju dan pantang berundur. Sampaikan pula kepadanya jikalau Allah menakdirkanku sebagai syuhada, akan kusampaikan salamnya untuk ayah dan baba saudaraku di jannah.
Paman. aku khawatir kalau nanti ibu tidak mempercayai ucapanmu. Maka ambillah pakaianku yang berlumuran darah ini, kerana bila ibu melihatnya ia akan yakin bahawa aku telah terbunuh, dan insyaaAllah kami bertemu kembali di jannah.
Paman.. setibanya engkau di rumahku, akan engkau temui seorang gadis kecil berumur sembilan tahun. Ia adalah adikku.. tidak pernah aku masuk rumah kecuali ia menyambutku dengan keceriaan, dan tidak pernah aku pergi kecuali diiringi isak tangis dan kesedihannya. Ia begitu terkejut ketika mendengar kematian ayah tahun lalu, dan sekarang ia akan terkejut mendengar kematianku.
Ketika melihatku mengenakan pakaian safar ia berkata dengan berat hati, “Abang.. jangan engkau tinggalkan kami lama-lama.. segeralah pulang.. !!”
Paman.. jika engkau bertemu dengannya maka hiburlah hatinya dengan kata-kata yang manis. Katakan kepadanya bahawa abangmu mengatakan, “Allah-lah yang akan menggantikanku mengurusmu.”

Abu Qudamah melanjutkan, “Kemudian anak muda itu berusaha menguatkan dirinya, namun nafasnya mulai sesak dan kata-katanya tidak jelas. Ia berusaha kedua kalinya untuk menguatkan dirinya dan berkata,

“Paman.. demi Allah, mimpi itu benar.. mimpi itu sekarang menjadi kenyataan. Demi Allah, masa ini aku benar-benar sedang melihat al-Mardhiyyah dan mencium bau wanginya.”
Lalu pemuda itu mulai sekarat, dahinya berpeluh, nafasnya tersekat-sekat dan kemudian wafat di pangkuanku.”

Abu Qudamah berkata, “Maka kulepaskan pakaiannya yang berlumuran darah, lalu kuletakkan dalam sebuah bekas, kemudian kukebumikan dia. Selesai mengebumikannya, keinginan terbesarku ialah segera kembali ke Raqqah dan menyampaikan pesannya kepada ibunya.
Maka akupun kembali ke Raqqah. Aku tidak tahu siapa nama ibunya dan dimana rumah mereka.
Tatkala aku menyusuri jalan-jalan di Raqqah, terlihat olehku sebuah rumah. Di depan rumah itu ada gadis kecil berumur Sembilan tahun yang berdiri menunggu kedatangan seseorang. Ia melihat-lihat setiap orang yang lalu di depannya. Setiap kali melihat orang yang baru pulang dari bepergian ia bertanya, “Paman.. Anda datang dari mana?”
“Aku datang dari jihad,” kata lelaki itu.
“Kalau begitu abangku ada bersamamu..?” tanyanya.
“Aku tidak kenal, siapa abangmu..?” kata lelaki itu sambil berlalu.
Lalu melintaslah orang kedua, dan tanyanya, “Paman, Anda datang dari mana?”
“Aku datang dari jihad,” jawabnya.
“Abangku ada bersamamu?” tanya gadis itu.
“Aku tidak kenal, siapa abangmu..?” kata lelaki itu sambil berlalu.
Lalu melintasalah orang ketiga, keempat, dan demikian seterusnya. Lalu setelah putus asa menanyakan saudaranya, gadis itu menangis sambil tertunduk dan berkata, “Mengapa mereka semua kembali tetapi abangku tidak kunjung kembali?”
Melihat ia seperti itu, akupun datang menghampirinya. Ketika ia melihat kesan-kesan safar padaku dan tas yang kubawa, ia bertanya, “Paman.. Anda datang dari mana?”
“Aku datang dari jihad,” jawabku.
“Kalau begitu abangku ada bersamamu?” tanyanya.
“Dimanakah ibumu?” tanyaku.
“Ibu ada di dalam rumah,” jawabnya.
“Sampaikan kepadanya agar ia keluar menemuiku,” perintahku kepadanya.

Ketika perempuan tua itu keluar, ia menemuiku dengan wajah tertutup pakaiannya. Ketika aku mendengar suaranya dan ia mendengar suaraku, ia bertanya, “Hai Abu Qudamah, engkau datang hendak mengucapkan takziah atau memberi khabar gembira?”

Maka tanyaku, “Semoga Allah merahmatimu. Jelaskanlah kepadaku apa yang engkau maksud dengan ucap takziah dan khabar gembira itu?”

“Jika engkau hendak mengatakan bahwa anakku telah gugur di jalan Allah, dalam keadaan maju dan pantang berundur bererti engkau datang membawa khabar gembira untukku, kerana Allah telah menerima hadiahku yang telah kusiapkan untuk-Nya sejak tujuh belas tahun silam.

Namun jika engkau hendak mengatakan bahawa anakku kembali dengan selamat dan membawa ghanimah, bererti engkau datang untuk bertakziah kepadaku, kerana Allah belum berkenan menerima hadiah yang kupersembahkan untuk-Nya,” jelas si perempuan tua.

Maka ku katakan, “Kalau begitu aku datang membawa khabar gembira untukmu.
Sesungguhnya anakmu telah terbunuh fi sabilillah dalam keadaan maju dan pantang mundur. Ia bahkan masih menyisakan sedikit kebaikan, dan Allah berkenan untuk mengambil sebahagian darahnya hingga ia redha.”

‘Tidak!, kurasa engkau tidak berkata jujur,” kata si ibu sambil memandang kepada bekas yang kubawa, sedang puterinya menatapku dengan tenang.
Maka ku keluarkanlah isi tas tersebut, kutunjukkan kepadanya pakaian puteranya yang berlumuran darah. Nampak serpihan wajah anaknya berjatuhan dari kain itu, diikuti titisan darah yang bercampur beberapa helai rambutnya.
“Bukankah ini adalah pakaiannya.. dan ini serbannya.. lalu ini seluarnya yang engkau kenakan kepada anakmu sewaktu berangkat berjihad..?” kataku.
“Allaahu Akbar..!!” teriak si ibu kegirangan.

Adapun gadis kecil tadi, ia justru meraung seperti histeris lalu jatuh terkulai tidak sedarkan diri. Tidak lama kemudian ia mulai merintih, “Aakh..! aakh..!”
Si ibu merasa cemas, ia bergegas masuk kedalam mengambil air untuk puterinya, sedang aku duduk di samping kepalanya, menjiruskan air kepadanya.

Demi Allah, ia tidak sedang merintih.. ia tidak sedang memanggil-manggil abangnya. Akan tetapi ia sedang sekarat!! Nafasnya semakin berat.. dadanya kembang kempis.. Lalu perlahan rintihannya terhenti. Ya, gadis itu telah tiada.

Setelah puterinya tiada, ia mendakapnya lalu membawanya ke dalam rumah dan menutup pintu di hadapanku. Namun sayup-sayup terdengar suara dari dalam, “Ya Allah, aku telah merelakan kepergian suamiku, saudaraku, dan anakku di jalan-Mu. Ya Allah, kuharap Engkau meridhaiku dan mengumpulkanku bersama mereka di jannah-Mu.”

Abu Qudamah berkata, “Maka kuketuk pintu rumahnya dengan harapan ia akan membukakan. Aku ingin memberinya sejumlah uang, atau menceritakan kepada orang-orang tentang kesabarannya sehingga kisahnya menjadi teladan. Akan tetapi sungguh, ia tidak membukanya untukku ataupun menjawab seruanku.

“Sungguh demi Allah, tidak pernah ku alami kejadian yang lebih menakjubkan dari ini,” kata Abu Qudamah mengakhiri kisahnya.